Senin, 08 Oktober 2012

Menjadi Nasabah Bank Syariah, Mau??

telah dimuat dalam : http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2009/06/23/menjadi-nasabah-bank-syariah-mau/

OPINI | 23 June 2009 | 11:16
 



Istilah bank syariah pertama kali saya kenal dari artikel berjudul “Perbankan Syariah” yang ditulis oleh kakak saya sendiri Handriyanto – yang justru bukan seorang Muslim. Karena itu saya langsung tertarik untuk membacanya, sebab pasti ada beberapa hal menarik yang ada di bank syariah sehingga kakak saya mau repot-repot membuat tulisan tentang itu.

Sejarah kemunculan perbankan syariah dimulai dengan diundangkannya UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan pada 10 November 1998. Hal tersebut karenan dalam UU Perbankan tersebut mulai diberlakukannya sistem ganda atau duel system banking di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga dan sistem perbankan syariah dengan piranti akad-akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Kemudian pada tanggal 18 Juni 2008, DPR bersama pemerintah akhirnya sepakat mengesahkan RUU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjadi Undang-Undang Perbankan Syariah setelah dibahas selama enam tahun.

Secara faktual, Bank Mu’amalat Indonesia merupakan Bank Umum Syariah yang berdiri pertama kali pada tahun 1992 dan menyusul kelahiran empat BPR Syariah yaitu BPR Dana Mardhatillah, BPR Amal Berkah Sejahtera, BPR Amanah Ummah dan BPR Hereukat.

Meski operasionalisasi perbankan syariah, baik dari sisi produk, pengawasan maupun aturan masih diragukan beberapa kalangan – termasuk kalangan umat Islam sendiri, namun prinsip bagi hasil dimana besarnya imbalan yang diberikan didasarkan pada suatu persentase tertentu yang diterapkan berdasarkan kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian tertulis antara bank dan nasabahnya ternyata cukup menarik minat orang untuk bersedia menjadi nasabah bank syariah. Bahkan dalam hal tertentu bank berdasarkan prinsip bagi hasil dapat memberi imbalan yang lebih besar daripada yang disepakati.

Prinsip bagi hasil bank syariah tersebutlah yang menarik minat banyak nasabah di berbagai negara. Bank syariah tak hanya menjadi primadona tak hanya di kalangan muslim bahkan cukup banyak pengusaha keturunan Chinese (non muslim) di Malaysia yang setia menggunakan jasa bank syariah. Tak hanya di Asia, perbankan syariah di Inggris, Jerman dan Hongkong bahkan telah menjadi sumber pendanaan yang luar biasa.

Meski demikian memang tak mudah menyakinkan masyarakat termasuk investor maupun pengusaha sebab membandingkan bank syariah dengan bank konvensional tidak bisa hanya dilihat dari sisi manfaat dan resikonya atau return and risk-nya, melainkan juga harus dinilai sisi philosofis dan ideologisnya. Karena itu mereka yang biasanya tertarik dan bersedia menjadi nasabah bank syariah biasanya karena mereka tidak ingin mendapatkan bunga dari dana yang disimpan di bank. Jadi perbankan syariah benar-benar merupakan alternatif perbankan yang memegang tegas  syariah sehingga tidak ada keraguan (syubhat).

Produk yang paling populer di bank syariah adalah murabahah . Meski memiliki kesamaan dengan sistem kredit pada perbankan konvensional, namun secara prinsip murabahah jauh berbeda dengan suku bunga dalam perbankan konvensional. Karena murabahah adalah transaksi berdasarkan kepercayaan atau trustworthiness, sebab pembeli telah mempercayakan penjual untuk menentukan harga asal barang yang dibelinya.

Jadi, ketika bank syariah menawarkan skim pembiayaan murabahah, maka sebenarnya bank menawarkan kepercayaan dan good will yang tinggi kepada nasabah, sebaliknya nasabah juga memberikan kepercayaan yang penuh kepada pihak bank. Konsep yang dipakai dalam transaksi dalam perbankan syariah adalah konsep amanah dan saling mempercayai. Prinsip-prinsip mendasar inilah yang membedakan murabahah dengan pinjaman berbasiskan bunga tetap.

Murabahah dalam konsep perbankan syariah diartikan sebagai jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan/margin yang disepakai. Dalam konsep jual beli berdasarkan syariah ini, penjual harus memberi tahu harga pokok pembelian barang dan menentukan tingkat keuntungan tertentu sebagai tambahan dan menjelaskannya kepada pembeli. Murabahah menekankab adanya pembelian komoditas berdasarkan permintaan nasabah. Bukan hanya pinjaman semata sebagaimana dalam sistem kredit di perbankan konvensional.

Jadi dalam praktek murabahah tidak ditemukan adanya bunga, melainkan hanya margin sebagai tambahan atas unsur pokok pembeliab, sehingga tidak bertentangan dengan syariah. Dari sisi pembiayaan bisnis, sistem yang digunakan dalam perbankan syariah terbukti menguntungkan nasabah dan bank provider dengan resiko bisnis yang managable.

Prospek perbankan syariah ini juga cukup menjanjikan. Jika pada tahun 2008 market share jasa perbankan syariah diperkirakan baru mencapai 3-5 %, maka diprediksikan dalam tempo 5 tahun ke depan market share jasa perbankan syariah akan meningkat menjadi 20%-30%.
Jika magnitude bank syariah demikian besar, lantas mengapa masih ragu ? Menjadi Nasabah Bank Syariah? Mau!!!

Aku dan Islam

 Posted by on Feb 8, 201

“Jika kamu masih mempunyai banyak pertanyaan, maka kamu belum dikatakan beriman, Iman adalah percaya apa adanya, tanpa reserve”.

Begitulah kira-kira suatu pernyataan yang akan selalu saya ingat didalam hidup saya. Waktu itu saya masih seorang penganut Kristen Katolik berusia 12 tahun yang banyak sekali pertanyaan didalam hidup saya. Diantara pertanyaan-pertanyaan itu, tiga pertanyaan yang paling besar adalah: Darimana asal kehidupan ini, Untuk apa adanya kehidupan ini, dan akan seperti apa akhir daripada kehidupan ini. Dari tiga pertanyaan tersebut muncullah pertanyaan-pertanyaan turunan, “Kenapa tuhan pencipta kehidupan ini ada 3, tuhan bapa, putra dan roh kudus? Darimana asal tuhan bapa?”, atau “Mengapa tuhan bisa disalib dan dibunuh lalu mati, lalu bangkit lagi?”. Jawaban-jawaban itu selalu akan mendapatkan jawaban yang mengambang dan tak memuaskan.

Ketidakpuasan lalu mendorong saya untuk mencari jawaban di dalam alkitab, kitab yang datang dari tuhan, yang saya pikir waktu itu bisa memberikan jawaban. Sejak saat itu, mulailah saya mempelajari isi alkitab yang belasan tahun tidak pernah saya buka secara sadar dan sengaja. Betapa terkejutnya saya, setelah sedikit berusaha memahami dan mendalami alkitab, saya baru saja mengetahui pada saat itu jika 14 dari 27 surat dari injil perjanjian baru ternyata ditulis oleh manusia, saya hampir tidak percaya bahwa lebih dari setengah isi kitab yang katanya kitab tuhan ditulis oleh manusia, yaitu Santo Paulus. Lebih terkejut lagi ketika saya mengetahui bahwa sisa kitab yang lainnya juga merupakan tulisan tangan manusia setelah wafatnya Yesus. Sederhananya, Yesus pun tidak mengetahui apa isi injilnya. Lebih dari itu semua, konsep trinitas yang menyatakan tuhan itu tiga dalam satu dan satu dalam tiga (Bapa, Anak, dan Roh Kudus) yang merupakan inti dari ajaran kristen pun ternyata adalah hasil konggres di kota Nicea pada tahun 325 M. Ketika proses mencari jawaban di dalam alkitab pun, saya menemukan sangat sedikit sekali keterangan yang diberikan di dalam alkitab tentang kehidupan setelah mati hari kiamat dan asal usul manusia.

Setelah proses pencarian jawaban di dalam alkitab itu, saya memutuskan bahwa agama yang saya anut tidaklah pantas untuk dipertahankan atau diseriusi, karena tidak memberikan saya jawaban atas pertanyaan mendasar saya, juga tidak memberikan kepada saya pedoman dan solusi dalam menjalani hidup ini. Sejak saat itu, saya memutuskan untuk menjadi seseorang yang tidak beragama, tetapi tetap percaya kepada Tuhan. Saya mengambil kesimpulan bahwa semua agama tidak ada yang benar, karena sudah diselewengkan oleh penganutnya seiring dengan waktu. Saya menganggap semua agama sama, tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Saya juga berpandangan bahwa Tuhan laksana matahari, dimana para nabi dengan agamanya masing-masing adalah bulan yang memantulkan cahaya matahari, dan pemantulan itu tidak ada yang sempurna, sehingga agama pun tidak ada yang sempurna Tanpa sadar waktu itu saya masuk kedalam ideologi sekular. Menjadilah saya manusia yang sinkretis dan pluralis pada waktu itu.

Tetapi semua pandangan itu berubah 5 tahun kemudian ketika saya memasuki semester ketiga saya ketika berkuliah di salah satu PTN. Saya menemukan bahwa teori saya bahwa semua agama itu sama hancur samasekali dengan adanya realitas baru yang saya dapatkan. Lewat pertemuan saya dengan seorang ustadz muda aktivis gerakan da’wah islam internasional, perkenalan saya dengan al-Qur’an dimulai. Diskusi itu bermula dari perdebatan saya dengan seorang teman saya tentang kebenaran. Dia berpendapat bahwa kebenaran ada di dalam al-Qur’an, sedangkan saya belum mendapatkan kebenaran. Sehingga dipertemukanlah saya dengan ustadz muda ini untuk berdiskusi lebih lanjut.

Setelah bertemu dan berkenalan dengan ustadz muda ini, saya lalu bercerota tentang pengalaman hidup saya termasuk ketiga pertanyaan hidup saya yang paling besar. Kami lalu berdiskusi dan mencapai suatu kesepakatan tentang adanya Tuhan pencipta alam semesta. Adanya Tuhan, atau Sang Pencipta memanglah sesuatu yang tidak bisa disangkal dan dinafikkan bila kita benar-benar memperhatikan sekeliling kita. Tapi saya lalu bertanya pada ustadz muda itu “Saya yakin Tuhan itu ada, dan saya berasal dari-Nya, tapi masalahnya ada 5 agama yang mengklaim mereka punya petunjuk bagi manusia untuk menjalani hidupnya. Yang manakah lalu yang bisa kita percaya?!”. 

Ustadz muda itu berkata “Apapun diciptakan pasti mempunyai petunjuk tentang caranya bekerja” lalu dia menambahkan “Begitupun juga manusia, masalahnya, yang manakah kitab petunjuk yang paling benar dan bisa membuktikan diri kalau ia datang dari Sang Pencipta atau Tuhan yang Maha Kuasa” lalu diapun membacakan suatu ayat dalam al-Qur’an:

Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (TQS al-Baqarah [2]:2)

Ketika saya membaca ayat ini saya terpesona dengan ketegasan dan kejelasan serta ketinggian makna  daripada kitab itu. Mengapa penulis kitab itu berani menuliskan seperti itu?. Seolah membaca pikiran saya, ustadz itu melanjutkan “kata-kata ini adalah hal yang sangat wajar bila penulisnya bukanlah manusia, ciptaan yang terbatas, Melainkan Pencipta. Not creation but The Creator. Bahkan al-Qur’an menantang manusia untuk mendatangkan yang semacamnya!”
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar (TQS al-Baqarah [2]: 23)

Waktu itu saya membeku, pikiran saya bergejolak, seolah seperti jerami kering yang terbakar api. Dalam hati saya berkata “Mungkin inilah kebenaran yang selama ini saya cari!”. Tetapi waktu itu ada beberapa keraguan yang menyelimuti diri saya, belum mau mengakui bahwa memang al-Qur’an adalah suatu kitab yang sangat istimewa, yang tiada seorangpun yang bisa mendatangkan yang semacamnya. Lalu saya bertanya lagi “Lalu mengapa agama yang sedemikian hebat malah terpuruk, menjadi pesakitan, hina dan menghinakan dirinya sendiri?”. Dengan tersenyum dan penuh ketenangan ustadz muda itu menjawab “Islam tidak sama dengan Muslim. Islam sempurna, mulia dan tinggi, tidak ada satupun yang tidak bisa dijelaskan dan dijawab dalam Islam. Muslim akan mulia, tinggi juga hebat. Dengan satu syarat, mereka mengambil Islam secara kaffah (sempurna) dalam kehidupan mereka”

“Jadi maksud ustadz, muslim yang sekarang tidak atau belum menerapkan Islam secara sempurna?!” sata menyimpulkan.

“Ya, itulah kenyataan yang bisa Anda lihat” tegas ustadz muda itu.

Lalu saya dijelaskan panjang lebar tentang maksud bahwa Islam berbeda dengan Muslim. Penjelasan itu sangat luar biasa, sehingga memperlihatkan bagaimana sistem Islam kaffah bekerja. Sesuatu yang belum pernah saya dengar tentang Islam sampai saat itu, sesuatu yang tersembunyi (atau sengaja disembunyikan) dari Islam selama ini. Saat itu saya sadar betul kelebihan dan kebenaran Islam. Hanya saja selama ini saya membenci Islam karena saya hanya melihat muslimnya bukan Islam. Hanya melihat sebagian dari Islam bukan keseluruhan.

Akhirnya ketiga pertanyaan besar saya selama ini terjawab dengan sempurna. Bahwa saya berasal dari Sang Pencipta dan itu adalah Allah SWT. Saya hidup untuk beribadah (secara luas) kepada-Nya karena itulah perintah-Nya yang tertulis didalam al-Qur’an. Dan al-Qur’an dijamin datang dari-Nya karena tak ada seorangpun manusia yang mampu mendatangkan yang semacamnya. Setelah hidup ini berakhir, kepada Allah saya akan kembali dan membawa perbuatan ibadah saya selama hidup dan dipertanggungjawabkan kepada-Nya sesuai dengan aturan yang diturunkan oleh Allah. Setelah yakin dan memastikan untuk jujur pada hasil pemikiran saya. 

Saya memutuskan:
“Baik, kalau begitu saya akan masuk Islam!”

Saya tahu, saya akan menemui banyak sekali tantangan ketika saya memutuskan hal ini. Saya memiliki lingkungan yang tendensius kepada Islam dan saya yakin keputusan ini tidak akan membuat mereka senang. Tapi bagaimana lagi, apakah saya harus mempertahankan perasaan dan kebohongan dengan mengorbankan kebenaran yang saya cari selama ini?!. “Tidak, sama sekali tidak” saya memastikan pada diri saya sendiri lagi. Artinya walaupun tantangan di depan mata, saya yakin bahwa Allah, yang memberikan saya semuanya inilah yang pantas dan harus didahulukan.

Setelah menemukan Islam, saya menemukan ketenangan sekaligus perjuangan. Ketenangan pada hati dan pikiran karena kebenaran Islam. Dan perjuangan karena banyak muslim yang masih terpisah dengan Islam dan tidak mengetahui hakikat Islam seperti yang saya ketahui, kenikmatan Islam yang saya nikmati dan bangga kepada Islam seperti saya bangga kepada Islam. Dan mudah-mudahan, sampai akhir hidup saya dan keluarga saya, kami akan terus di barisan pembela Islam yang terpercaya. Janji Allah sangat jelas, dan akan terbukti dalam waktu dekat. Allahuakbar!

Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik (TQS an-Nuur [24]: 55)

Terimakasih Allah SWT, telah memberiku al-Qur’an dan taufik. Terimakasih wahai rasulullah Muhammad saw. atas kasih sayang dan perjuangannya. Terimakasih untuk Mami yang telah melahirkan dan mengasuh serta membesarkanku. Papi atas pelajaran nalar dan kritisnya sehingga aku bisa menemukan Islam. al-Ustadz Fatih Karim atas kesabaran dan persaudaraanya. al-Ustadz Ahmad Muhdi atas kritik dan perhatiannya. Ummi Iin atas percaya dan penurutnya. Teman-teman HDHT, terimakasih atas bimbingannya
Felix Siauw

Jumat, 13 Juli 2012

MARIA EVA DAN DEMOKRASI POSTMODERNISME: MENCERMATI ARGUMEN RELATIVITAS DALAM DIMENSI MORALITAS

Oleh:  Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi
(Konselor Muslim, Aktif di Kajian Zionisme Internacional)

Tampaknya tidak hanya Jakarta yang akhir-akhir ini ketiban suhu panas 38 derajat celcius. Namun baru-baru ini rakyat Sidoarjo yang sebelumnya bermandi Lumpur pun ikut-ikutan memanas. Apa karena hawa panas Lumpur yang kembali memancur? Ternyata bukan, pasalnya ada di Maria Eva Lho hanya untuk seorang perempuan? Ya apalagi.

 Seperti diberitakan Vivanews.com, setelah Ayu Azhari dan Julia Perez, penyanyi dangdut, Maria Eva juga akan mencoba peruntungannya di dunia politik. Maria Eva pun membenarkan dirinya siap maju dalam pilkada. Dia mengaku sudah dilamar partai politik. Salah satunya adalah partai berlambang banteng gemuk dengan background merah.

Karir politik Maria Eva memang bukan seumur jagung. Ia berbeda dengan Julia Perez atau Inul Daratista. Maria memang sedikit lebih “terdidik” dengan  tampilan gelar master di ekor namanya. Karir politiknya pun  tidak disulap cepat seperti ayu Azahari. Setidaknya Maria sudah pernah ikut dalam pusara pemilihan legislatif pada basis konstituennya di Malang medio 2004 silam. Sayangnya, urutan nomor sepatu belum mengizinkannya melenggang ke Senayan.

Peraturan Mendagri
Isu naiknya Maria Eva sontak menimbulkan pro kontra. Artis yang familiar dengan goyangan dangdut vulgar itu, digadang-gadang akan merusak basis akhlak dan moral masyarakat. Terlebih Jawa Timur dan Sidoarjo adalah sendimentasi basis santri yang lekat pada dinamika kultural kedaerahan.

Menurut khalayak, Maria tidak hanya dinilai cacat moral, namun stigma seksis akan terus melekat padanya. Ini bukan dogma atau sekedar stigma sepihak, namun setidaknya lakon artis panas memang masih kerap diumbar olehnya saat pesta-pesta musik dangdut yang sering dibawakan dengan tampilan panas. Jadi alangkah wajar apabila rakyat Sidoarjo, terlebih Indonesia amat geram melihat Maria Eva sendiri yang belum ada niatan pensiun dari wilayah remang-remang itu.

Menangkap gelagat tidak baik ini dan berpihak pada kegelisahan masyarakat atas pelbagai kasus seksis pada kontestasi Politik Daerah, Mendagri Gamawan Fauzi kemudian mengusulkan penambahan syarat tidak cacat moral pada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Tidak hanya itu, selain usulan tidak cacat moral, Gamawan juga mengajukan usulan perbaikan kualitas calon kepala daerah dengan mengacu keharusan memiliki pengalaman di partai politik atau paling tidak organisasi kemasyarakatan.

Ternyata kedua usulan yang diajukan Gamawan bukan tanpa sebab. Seperti dikutip Kompas 23 April 2010 lalu, pada kenyataannya Gamawan berpandangan bahwa pemerintah perlu melakukan "intervensi" karena rakyat Indonesia dipandang belum cukup matang dalam memilih pemimpinnya.

Tentu saja bergulirnya niat tulus revisi itu menimbulkan kegeraman bagi Maria dan artis-artis lakon panas lainnya. Artis bergelar Master bidang Marketing itu lantas menilai bahwa Usulan Pak Menteri itu terlalu naïf, mengada-ngada, dan sarat muatan politis.

Lalu Maria Eva dengan gaya khas Postmo-nya justru berbalik mendebat Gamawan untuk memperjelas definisi zina. Apakah yang dimaksud Gamawan adalah zina mata? Zina badan? Kalau seperti itu Eva berani menjamin semua orang pun pernah berzina. Termasuk Gamawan Fauzi sendiri mungkin. Ya tutur kata Maria begitu khas posmo. Mencari kebenaran pada susunan tiang-tiang huruf yang coba dirubuhkan pada arti dan definisi.

Posmodernisme Kebenaran
Posmodernisme sebenarnya adalah nama gerakan di kebudayaan kapitalis lanjutan. Istilah Posmodernisme sendiri muncul pertama kali di kalangan seniman dan kritikus di New York tepatnya pada tahun 1960 dan diambil alih oleh para teoritikus Eropa pada tahun 1970-an. Tokoh yang sering diasosiasikan dengan Posmodernisme antara lain Derrida, Lyotard, dan Baudrillard, yang kesemuanya bernaung atas payung filsafat.

Mengubah realitas menurut Derrida juga berarti mengubah teks, dan teks itu sendiri adalah realitas kehidupan manusia. Untuk mengubah realitas orang perlu terlebih dahulu mampu memahami dan menggambarkan realitas. Ada keterkaitan yang mendalam antara menggambarkan (to describe) dan mengubah (to transform).

Secara garis besar, yang menjadi konsen dari posmodernisme adalah membicarakan ulang kembali arti kemapanan. Memperhitungkan kembali kebenaran hakiki. Dalam konstruk Posmo satu tambah satu belum tentu dua. Bisa tiga, bisa empat, atau bisa juga dua. Namun dua dalam versi yang lain.

Hal-hal semacam itu kita kenal dengan istilah Dekonstruksi. Alih-alih dekontruksi ingin melakukan reformasi, anak kandung posmo ini malah semakin membingungkan. Ia mencoba merusak makna sesuatu yang sebenarnya sudah clear. Jika ayam berkokok, bagi orang posmo, dia akan berakata, “Ayam yang mana dulu?”. Ayam Kentucky kenapa tidak berkokok, tapi malah disiram saus. Cantik memang, tapi hancur. Manis memang tapi sinis. Dekonstruksi mencoba mengajak anda menari untuk secara bertahap melupakan kebenaran tunggal.

Derrida, misalnya, ia melakukan dekonstruksi tidak hanya bergerak di tataran filsafat, melainkan juga menyentuh literatur, politik, seni, arsitektur, dan bahkan ilmu-ilmu alam. Seperti pada umumnya, dekonstruksi Derrida menggambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah dan membelah kepastian dan pakem-pakem lama yang tidak lagi dipertanyakan. Di dalam tulisan-tulisannya, Derrida berulang kali menuliskan bahwa kekuatan untuk mengubah dan membelah itu sebenarnya sudah terkandung di dalam teks itu sendiri. Yang ia lakukan hanyalah mengaktifkan kekuatan itu, dan kemudian menyebarkannya ke keseluruhan teks.  Derrida mau melakukan de-sedimentasi terhadap teks, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam arti ini ia mau menciptakan gempa di dalam teks.

Hasilnya banyak konteks Dekonstruksi ini coba dicarikan ruangnya dalam dimensi keislaman. Salah satu hasilnya adalah lahirnya buku Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat. Dan diantara penulis-penulisnya tersimpul nama-nama “beken” seperti Almarhum Nurcholish Madjid yang dibuku itu menulis tentang “Menyemarakkan dialog agama”. Lalu ada Kautsar Azhari-Noer yang berkisah dengan judul terang “Melampaui nama-nama Islam dan postmodernisme”. Ada pula Komaruddin Hidayat yang hasil tulisannya bertajuk “Dari tahapan moral ke periode sejarah pemikiran neo-modernisme Islam di Indonesia”. Tentu itu hanya sedikit nama.

Hasilnya apa? Salah satu bentuk dekonstruksi itu dengan sembrono dilakukan Nurcholish Madjid yang mengubah konsep dasar makna Islam menjadi sekedar “sikap pasrah”. Islam mengalami reduksi dari artian sebagai konsep, sistem kehidupan, menjadi hanya sebuah sikap menyerahkan diri. Jadi apapun agamanya, jika ia menyerahkan diri kepada Tuhan, sudah termasuk bagian dari amar ma’ruf, bahkan jihad. Kendati orang itu masih suka berselingkuh dengan Tuhan-tuhan yang lain.

Posmodernisme Demokrasi.
Jika Kita coba kembali ke Maria Eva akan kita temukan sesuatu yang unik. Dimana perseteruan Eva-Gamawan lantas dengan sigap diberi ruang oleh media. Televisi-televisi pun berusaha mengundang Eva dalam suasana yang lebih santai dan terbuka. Salah satunya di program Mata Najwa Metro TV.

Setelah mengundang Musdah Mulia pekan lalu, acara yang dipandu Host Najwa Shihab itu kini menghadirkan banyak pembicara. Setidaknya Julia Perez, Maria Eva sendiri, Gamawan Fauzi, dan Syaiful Mujani melakukan wawancara silih berganti.

Pada sesi wawancara untuknya, Maria terang-terangan mempertanyakan perihal keabsahan makna moralitas itu sendiri. Maria berkata setengah bingung dan skeptik tentang bagaimana ukuran sebenarnya dari standar moralitas. Apa tapal batas dari kriteria moralitas? Dimana ujungnya? Sekilas, Maria Eva bertanya lebih sebagai Albert Camus berkisah tentang Tuhan yang tiada ujung dan pasti tidak memuaskan.

Hingga tiba di penghujung acara, Najwa Shihab akhirnya menyimpulkan bahwa ia menyadari kegelisahan masyarakat tapi tidak juga menutup mata atas hegemoni artis panas pada persaingan politik. Akhirnya, dengan nada pasti Najwa mencoba mengambil jalan tengah dengan mengatakan bahwa pilihan itu akan berpulang kepada diri kita sendiri. Kalau tidak setuju dengan para artis panas ini, ya jangan dipilih.  Tapi kita pun juga tidak boleh membatasi hak politik mereka, begitu kira-kira asumsi putri kandung Prof Quraish Shihab tersebut.

Kita yang tidak setuju memang boleh geram, namun khususnya saya menyadari bahwa beginilah pahitnya hidup pada negara dengan asas di mana standar kebenaran ada di tangan rakyat, bukan Allah. Atau mungkin asas demokrasi bangsa kita sekarang bergeser menjadi tema demokrasi tubuh, demokrasi posmo, atau mungkin demokrasi “tergantung pilihan anda”.

Dalam analisa lebih jauh, kebenaran dalam sistem posmo ini pun bisa dikompromikan. Sebagai contoh, jika ada kebenaran yang merugikan rakyat, maka pihak yang dirugikan bisa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan peraturan tersebut. Kasus ini terjadi saat Jaringan Islam Liberal meminta pencabutan UU Penodaan Agama yang baru-baru heboh dikalangan umat Islam. Padahal jika kita menilik dalam kerangka Islam, yang haqq pasti tidak akan bisa dikompromikan, apalagi dijual. Terlebih-lebih dengan harga murah.

Oleh karena itu, kita harus mampu melihat secara jernih bahwa relativisme kini pada dasarnya tidak hanya lahir pada bahasan Pluralisme agama. Namun ia masuk ke tema-tema yang terbilang sederhana. Seperti sebuah motto yang terselip pada koran Jakarta "Kebenaran tidak pernah memihak"

Kalau kita memperhatikan dengan seksama, bahasa Najwa Shihab pun sekilas akan terlihat cantik "Tidak perlu membatasi politik mereka (Baca: Jupe or Maria Eva)" Jadi seakan kita adalah orang yang tidak bijak dalam kasus ini. Dalam tradisi Posmo sebisa mungkin kebenaran teologis memang harus mengalami redusir. Jangankan itu, kebenaran akan timbul dalam varian. Versi-versi yang antara satu dan yang lainnya saling bertentangan.

Bahkan jangan kaget jika kemudian hari kita pun akan digiring untuk berbenturan pada opini-opini "Jadi yang milih Jupe tidak bermoral dong?”

Tauhid vis a vis Posmodernisme dan Moralisme.
Kita memang perlu mengapresiasi itikad baik yang dikeluarkan Menteri Gamawan Fauzi. Bagaimanapun beliau punya rasa simpatik terhadap keselamatan moral bangsa. Namun karena kita menyandarkan moralitas pada standar-standar nilai kemanusiaan. Kita pun akan khawatir kasus Maria Eva hanya akan tertutup sejenak dan akan kembali muncul tapi dalam rupa berbeda. Ia seakan lenyap dari peredaran tapi hakikat dan ruhnya tetap tidak tersentuh. Bukankah ini serupa dengan adagium menutup satu lobang, lalu tersingkaplah lubang yang lain?

Sebenarnya, kasus relativitas moral hanya dapat luluh dengan sentuhan tauhid sebagai pilar asasinya. Islam tidak hanya mengajarkan hambanya untuk kemudian stabil dalam segi moral, namun labil pada akhlak yang lain. Islam pun selalu mengaitkan standar kebaikan yang langsung on line kepada ketetapan Allahuta’ala. Hamba dalam sistem tauhid hanya mau diatur kepada ketentuan Allah yang pasti adil dan mengerti kebutuhan hambanya.

Selanjutnya, berbeda dengan moralisme pada standar kemanusiaan dan postmodernisme, Islam mempunyai batas moralisme yang jelas, tidak sumir apalagi memberi ruang untuk ditafsirkan sendiri-sendiri. Islam sudah sempurna dan tidak butuh standar kebenaran kompromistis.

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu."  (Q.s. Al-Maidah:3)
Di ayat lain Allah juga mengatakan secara tegas.

Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu. (An-Nahl: 89)

Kita pun dapat memetik pelajaran pada catatan sirah nabawiyah bagaimana Rasulullah lebih mendahulukan panji tauhid ketimbang acuan moralisme. Oleh karenanya, Asy Syahid Sayyid Quthb dalam kitab Ma’alim Fiath-thariqnya, seperti pernah dibahas pula oleh Ustadz Ihsan Tanjung, dengan cantik menjelaskan perihal mengapa Allah mengharuskan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah  bukan bendera lainnya. Bendera tauhid dan bukan bendera moralisme, padahal dengan mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah  bangsa Arab bukan saja enggan menerima seruan tersebut, tetapi bahkan menentang dengan keras sampai ke tingkat mengusir dan memerangi Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat.

Sayyid Quthb menceritakan bahwa pada waktu Rasulullah s.a.w. diutus, tingkat kesusilaan di Semenanjung Arab berada dalam titik yang amat rendah dalam banyak seginya, di samping hal-hal yang mulia yang asli baduwi (di perkampungan dan bukan di kota, pent) yang masih ada dalam masyarakat. Ketidakadilan merajalela dalam masyarakat, tergambar dalam kata-kata penyair Zuhair bin Abi Salma :

"Siapa yang tidak  mempertahankan  kolam airnya dengan senjatanya akan diruntuhkan dan siapa yang tidak menganiaya manusia akan dianiaya."

Hal itu digambarkan juga oleh perkataan yang terkenal di zaman jahiliyah: "Tolonglah saudaramu baik ia menganiaya atau dianiaya."

Minuman yang memabukkan dan perjudian telah menjadi tradisi masyarakat yang tersebar luas. Dan menjadi suatu hal yang dibangga-banggakan.

Pelacuran dengan segala bentuknya telah menjadi tanda dari masyarakat ini, sebagaimana keadaannya dalam setiap masyarakat jahiliyah, baik yang kuno maupun yang modern. Barangkali ada yang mengatakan : Sesungguhnya adalah dalam kekuasaan Muhammad s.a.w. untuk mengumumkan suatu da'wah reformasi yang menyangkut dengan perbaikan budi pekerti, pembersihan masyarakat dan penyucian diri. Barangkali ada yang mengatakan : Sesungguhnya Muhammad shollollahu alaihi wa sallam pada waktu itu dapat menjumpai jiwa-jiwa yang baik yang merasa sakit melihat kekotoran ini, sebagaimana dijumpai oleh setiap reformis susila di setiap lingkungan. Jiwa-jiwa ini dipengaruhi oleh keluhuran dan keinginan untuk memperkenankan seruan reformasi dan pembersihan. Barangkali ada orang yang berkata : Seandainya hal itu diperbuat oleh Rasulullah s.a.w. semenjak dari pertama kali tentulah ia akan diperkenankan oleh sejumlah orang yang baik, yang bersih budi pekertinya, yang suci jiwa mereka, sehingga mereka itu lebih dekat untuk menerima dan memikul aqidah, dan tidak perlu lagi mengobarkan seruan La ilaha illa-llah yang menimbulkan oposisi yang kuat semenjak permulaan jalan.

Karena itu amat wajar jika istri nabi, Aisyah sampai-sampai harus mengatakan:
“Andaikan awal yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah jangan minum khamr, niscaya mereka berkata “Demi Allah kami takkan meninggalkan khamr”. Andaikan awal yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah jangan berzina, niscaya mereka berkata “Demi Allah kami takkan meninggalkan zina”. Akan tetapi awal yang diturunkan ialah surah-2 detail mengenai surga dan neraka, sehingga hati menjadi teguh mengingat Allah. Barulah kemudian (lambat-laun) diturunkan (daftar perkara) halal dan haram.”

Sayyid Quthb-pun mempertegas itu pula dalam kitab Fiqhud da’wah-nya bahwa ketertundukan kepada Allah membebaskan manusia dari ketertundukan kepada yang lainnya dan menyelamatkannya dari menyembah sesama hamba kepada menyembah kepada Allah. Kehidupan manusia akan baik, lurus, meningkat, atau menjadi kehidupan yang layak dengan manusia kecuali dengan tauhid.

Di situ jelas, bahwa hamba Allah sudah memiliki kebenaran moral versi tersendiri yang pasti kokoh, karena ia turun langsung dari Sang penciptaNya. Yang mengerti betul siapa hambaNya dan Bagaimana cara mengaturnya.

Kita sebagai umat Islam akhirnya harus jeli melihat banyaknya permainan kata-kata yang dilontarkan kaum postmo yang pada hakikatnya adalah menipu. Permainan yang mudah sekali ditebak dan sudah jelas tujuannya karena selalu berkutat pada problem mengincar tahta-tahta duniawi. Semoga kita selalu dilindungi oleh Allah dari tipu daya dunia fana ini.
Allahua’lam