Rabu, 15 Januari 2020

Al Quran Mami

Al Quran itu tampak tergeletak di pojok kanan sebuah kamar. Kanaya bergegas memasuki kamar penuh debu itu dan berlutut ambil dan langsung peluk erat Al Quran yang berat itu. Masih terbayang binar terang kedua mata Kanaya ketika Mami "memamerkan" Al Quran itu bertahun-tahun silam.
"Kanaya, Kanaya, lihat, Al Quran yang baru mami beli. Baguskan? Lihatin deh, lengkap ada tanda-tanda bacanya. Kapan degung, kapan harus dibaca jelas dan lainnya semua terlihat jelas di Al Quran ini," kata Mami penuh rasa bahagia sambil menyodorkan sebuah Al Quran besar dengan pinggiran berwarna emas terang.

Terlihat warna warni di lembar demi lembar Al Quran itu sebagai penanda bagaimana ayat tersebut harus dibaca. Seketika itu  Kanaya pun takjub.
"Bagus banget Mi, " kata Kanaya spontan berkomentar.
"Ya dong.. Mami sengaja beli biar Mami gampang baca Al Qurannya. Nggak perlu mikir lagi bagaimana harus bacanya. Apa harus dibaca denggung, atau dimasukkan atau dibaca jelas, mami ga perlu binggung lagi," terang Mami dengan nada penuh buncah bahagia.

***

Mendadak menyeruak rasa haru tak terhingga di dalam dada Kanaya melihat Al Quran itu. Kanaya teringat kejadian belasan tahun silam.  Mami, wanita yang melahirkannya begitu bersemangat ingin bisa membaca Al Quran walaupun usia sudah senja. Padahal jika diingat dulu, Mami sampai murka tiada kepalang ketika Kanaya meminta ijin hijrah menjadi muslim dan langsung mengenakan jilbab waktu itu.

***

"Apa?? Kamu mau pindah ke Islam? Kamu mau dipoligami? Mau dicerai? " sembur Mami marah.
Begitulah Mai dan akhirnya Kanaya pun kerap memandang bahwa Islam identik dengan poligami, cerai dan anak perempuan muda dinikahkan dengan laki-laki tua. Entah mengapa perbedaan usia Nabi Muhammad dan salah satu istrinya kerap kali menjadi bahan untuk ditanamkan ke pikiran - terutama pikiran Kanaya yang waktu itu belum mengenal Islam secara baik.
Kanaya pun memberanikan diri mengangkat muka dan menatap lekat-lekat kedua mata mami yang berpijar laksana bola api yang membara.
"Terserah Mami mau bilang apa, keputusan Kanaya sudah bulat, Mi," jawab Kanaya perlahan. Plaaakkk!! Satu tamparan keras mendarat begitu kencang.
"Pokoknya kalau kamu nekat, kamu harus angkat kaki dari rumah ini! Kalau kamu nekat mau pindah, ingat ya mami ga mau ngakui kamu sebagai anak mami lagi! pergi sana!! pergi!! Kamu bukan anak mami lagi!!" Plakkk!! Satu tamparan keras kembali menyeimbangkan tamparan pertama. Kanaya mengerjabkan kedua matanya yang mulai memanas. Kanaya berusaha menahan agar butiran air mata tidak jatuh.
"Terserah Mami mau bilang apa. Mami mau bilang Kanaya bukan anak Mami kek, Mami mau ngusir Kanaya kek. Sampai kapan pun Kanaya tetap anak Mami dan Kanaya berhak tinggal di rumah ini karena Kanaya anak Mami!" teriak Kanaya kencang lalu menghambur masuk ke dalam kamar dan membanting pintu kamarnya keras dan menguncinya. Mami langsung meledak amarahnya. Mengendor-ngedor pintu kamar Kanaya keras.
"Keluar kamu Kanaya!! Dasar anak kurang ajar!! Keluar kamu!!" teriak Mami murka.
"Nggak mau! Kanaya tidak mau keluar sebelum mami ijinkan kanaya pindah dan pakai jilbab!" teriak Kanaya tak kalah lantang.
"Keluar kamu Kanaya!!! Keluar!!!" Mami terus menerus mengendor pintu kamar Kanaya. Kanaya diam tak bersuara. Hanya suara isak tangis lirih yang perlahan terdengar.
Sehari. Dua hari. Akhirnya di hari ketiga Mami mengedor lagi pintu kamar Kanaya.
"Keluar kamu Kanaya! Mau mati apa kamu didalam! Keluar kamu! Jangan bikin orang tua dipenjara kamu gara-gara kamu mati konyol! Keluar kamu Kanaya! Terserah deh kamu mau dipoligami kek! Mau dicerai kek! Yang penting kamu keluar!!" teriak Mami keras.
Didalam Kanaya tersenyum sambil terus mengunyah roti sandwichnya sambil baca buku Si Badung Jadi Pengawas kesukaannya. Yes! Strategiku berhasil! Bisik batik Kanaya gembira. Kanaya memang telah merencanakan semua dengan diam-diam. Kanaya sengaja menyiapkan perbekalan makan untuk beberapa hari dan sejumlah air minum, air mentah untuk membersihkan diri, serta kaleng-kaleng biskuit lengkap dengan tutupnya untuk menampung segala macam buang hajat secara terpisah. Sssttt jorok ya.. biarin... namanya juga "perang". Kanaya paham watak keras Mami yang pastinya akan menjaga pintu kamar menunggu dia membuka pintu lalu menyergapnya. Kanaya takut. Tapi Kanaya tetap menyakini, cinta ibu akan mengalahkan segalanya.

***

Itu dulu. Lebih dari belasan tahun silam. Hingga ketika ujian itu datang. Papi mendadak sakit dan harus dirawat di ICU. Berulang kali Papi berteriak ketakutan. dan wajah Papi begitu pucat pasi.
"Pergi.. suruh makhluk-makhluk hitam yang menyeramkan itu pergi!!" Papi terus menerus berteriak hingga suster datang, tepat bersama Kanaya akan membuka pintu untuk masuk. Ruang ICU VIP memang dibatasi oleh pintu-pintu kaca sehingga Kanaya dapat melihat semua kejadian dengan jelas. Suster yang datang berusaha menenangkan Papi. Mami tampak tak berdaya dan letih.
"Mami, Mami istirahat ya.. biarkan Kanaya yang bergantian menjaga Papi.." Kanaya mengusap halus lengan Mami. Mami mengangguk lemah dan berbaring di kasur yang terhampar tepat di samping kasur Papi.
"Mami tidur sini saja, " kata Mami sambi memejamkan mata.
"Biarkan saya saja Sus yang temani ayah saya, " kata Kanaya. Suster itupun mengangguk lalu meninggalkan Kanaya. Kanaya duduk di kursi yang berada di samping Papi. Kanaya pun membuka Al Quran yang dibawanya dan mulai membacanya perlahan sambil mengusap perlahan rambut Papi.
Suasana kamar mendadak hening. Yang terdengar hanyalah nafas Mami dan Papi yang tertidur pulas serta lantunan lirih ayat suci Al Quran yang dibaca Kanaya. Begitulah akhirnya selama tujuh hari Papi dirawat, tujuh hari itu pula Mami meminta Kanaya jangan sampai berhenti membaca Al Quran.
"Sepertinya makhluk-makhluk menyeramkan yang dilihat Papimu pergi ketika kamu baca itu," kata Mami. Begitulah hingga suatu hari, Papi terbangun dan berbisik kepada Kanaya.
"Kanaya.. Papi pingin belajar sholat lagi.." bisik Papi pelan. Sejak menikah dengan mama Kanaya, Papi yang semula muslim memilih ikut ke gereja bersama mama Kanaya. Demikian juga pendidikan di rumah, Kanaya dan Kakaknya dibesarkan dengan doa Novena dan doa-doa lainnya.
"Papi masih ingatkan bacaan sholat?" tanya Kanaya. Papi mengangguk.
"Kalau gitu Papi tayamum ya, lalu sholat di kasur saja, Kanaya makmum sama Papi ya" bisik Kanaya pelan.Ternyata itu adalah percakapan terakhir Kanaya sekaligus sholat pertama dan terakhir Papi.

***
Tapi kini, Mami sudah jauh berubah. Mami tidak lagi menyindir-nyindir Kanaya dengan jilbabnya. Mami tidak lagi meledek Kanaya dengan sebutan wanita tua saat Kanaya mengenakan gamis ketika keluar ke warung saat disuruh Mami membeli minyak goreng atau lainnya. Hingga suatu hari Mami bertanya ke Kanaya tentang makhluk-makhluk menyeramkan yang dilihat Papi.
"Oh, itu karena Papi mengalami sakaratul maut Mi. Jika seseorang lebih banyak dosanya maka malaikat Izrail yang bertugas mencabut nyawa akan tampak mengerikan. Sebaliknya ketika timbangan pahala seseorang lebih berat maka yang terjadi adalah sebaiknya," terang Kanya.
"Kamu tahu darimana, Ay?" tanya Mami.
"Kan semua ada di Al Quran Mi. Bagaimana kehidupan kita setelah mati juga ada didalam Al Quran," terang Kanaya.
"Lalu mengapa Ay bersikeras pakai jilbab? Padahal orang lain yang sama-sama Islam saja banyak yang tidak pakai jilbab kok?" tanya Mami lagi.
"Kan Kanaya baca-baca terjemahan Al Quran Mi, agar Kanaya tahu dulu tentang Islam itu bagaimana. Jadi Kanaya menemukan banyak ayat yang intinya mewajibkan wanita berhijab. Jadi ya sudah, Kanaya laksanakan dulu yang lebih cepat bisa Kanaya lakukan. Kalau sholat dan membaca Al Quran butuh waktu Mi, " jawab Kanaya.
Tiba-tiba mami mengambil sebuah selendang berwarna mewah bata dan mengenakannya di kepala.
"Mami pantas ga pakai ini?" tanya Mami.
Kanaya nyaris menangis melihat Mami mengenakan selendang berwarna merah bata itu menutupi rambut laksana hijab.
"Kanaya ajarin Mami sholat dan membaca Al Quran yah," pinta Mami. Kanaya mengangguk pelan. Mami merengkuh Kanaya dalam pelukan. Keduanya pun menangis sambil berpelukan.

***
"Kanaya kok mimnya ekornya ilang gini kalau ditengah.. kan mami binggung" protes Mami ketika Kanaya menerangkan bahwa bulatan ditengah itu huruf mim.  Kanaya berbahak. Mami pun cemberut,
"Eh bocah.. orang tua ngomong serius malah diketawain," protes Mami.
"Maaf..maaf Mi.. habis Mami lucu sih.. oya, kalau Kanaya besok berangkat kerja ke Jakarta yang ngajarin ngaji Mami siapa dong?" tiba-tiba raut Kanaya berubah serius.
"Oh itu.. Bu Ali.. Bu Ali bilang nanti tiap hari Bu Ali datang ke rumah, mau ngajarin mami ngaji sekaligus ngajarin Mami hafalin arti bacaan sholat. Kalau Allahu Akbar, Allah Maha Besar sih Mami sudah hafal," kata Mami.
"Oh syukurlah.. Bu Ali baik banget ya.."
Bu Ali adalah tetangga depan rumah. Kebetulan suami Bu Ali adalah Pembantu Dekan di kampus Kanaya dulu kuliah.

***
"Mama, Mama.. ayukk.. katanya Mama mau reunian..." Sapaan itu mendadak membuyarkan lamunan Kanaya.
"Eh, iya.. sebentar Pa.. aku nemu Al Quran Mami nih.. kok digeletakin gini aja sih di bawah sama kakak. Tapi wajar sih, kan kakak bukan muslim. Jadi tidak tau bagaimana adab memperlakukan Al Quran, " kata Kanaya bergegas bangun dari lantai yang berdebu. Kanaya menebarkan sejenak ruangan kamar Mami. Sejak memeluk Islam, Mami jauh berubah. Mami pun benar-benar bersikap adil. Mami membelikan kakak Kanaya sebuah rumah dan langsung mengatasnamakan rumah itu dengan nama kakak Kanaya. Sedang rumah yang ditempati Mami hibahkan untuk Kanaya. Karena Kanaya bermukim di Jakarta, akhirnya rumah tersebut sesekali ditempati kakak Kanaya. Namun sesekali ketika Kanaya singgah di kota kelahirannya, Kanaya pun menyempatkan diri menjengguk rumahnya.
"Aku bawa Al Quran Mami ini ya Pa.. sebagai kenang-kenangan dari Mami. Masih cukup kan tasnya Pa? Tasku sudah penuh, " kata Kanaya minta persetujuan suaminya.
"Bawa aja Al Qurannya Mami, Ma. kan kalau Ma baca bisa jadi pahala juga buat Ma dan Mami, "kata suami Kanaya lalu bergegas menutup pintu kamar.

The End