Minggu, 14 September 2008

Public Relations For DPR RI

BAGAIMANA SEHARUSNYA

HUMAS DPR BEKERJA

CITRA, ANTARA KONDISI IDEAL DAN REALITAS YANG ADA

Lagi, sebuah potret buram DPR RI kembali menjadi komoditas media. Kemunculan video porno “MYZ” dengan Maria Eva, mendadak meluluhlantakkan penilaian masyarakat tentang kredibilitas Dewan yang memang sudah terpuruk akibat pencitraan negatif media massa.

Seolah tak putus dirundung malang, DPR RI kembali mendapat badai cobaan untuk membangun citra positifnya. Belum habis “blow up” media massa tentang skandal percaloan dana bencana, studi banding komisi V DPR RI ke luar negeri yang terkesan sembunyi-bunyi, DPR RI kembali dihadapkan kenyataan pahit, sulitnya membangun citra positif tentang dirinya.

Pemberitaan kurang sedap itu memang tidak terlepas dari eforia reformasi yang melanda bangsa Indonesia yang menginginkan keterbukaan di segala bidang.

Demikian pula harapan yang disandarkan rakyat pada para wakil rakyat yang dipilihnya. Sebagai pihak yang memilih sah-sah saja apabila mereka berharap para wakil rakyat yang duduk di bangku DPR RI dapat dijadikan sosok panutan.

Seolah tak terima dengan berbagai citra negatif yang terekspose secara luar biasam tuntutan beberapa kalangan anggota Dewan yang sering kali merasa terpojokan oleh pemberitaan yang kurang positif acap kali di layangkan ke Bagian Pemberitaan dan Penerbitan.

Tak bisa dipungkiri keminiman pengetahuan tentang kode etik Pers menjadikan Bagian Pemberitaan dan Penerbitan menjadi tumpuan untuk dapat membendung pemberitaan negatif tentang DPR.

Padahal tidak disadari, berbeda dengan instansi atau lembaga lainnya, Bagian Pemberitaan dan Penerbitan bukan merupakan satu-satunya corong untuk memberikan pencitraan yang positif tentang DPR.

Berbeda dengan instansi pemerintah lainnya, di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki keunikan tersendiri jika kita ingin membicarakan tentang upaya membangun citra DPR. Dalam terori-teori, sering dipaparkan bahwa upaya membangun citra positif merupakan tanggungjawab public relation (PR).

Namun uniknya di DPR ini banyak pihak yang dapat menjadi public relation (PR) antara lain Para Pimpinan DPR, Para Pimpinan Komisi, Bagian Hubungan Masyarakat (Humas), Bagian Pemberitaan dan Penerbitan termasuk para wakil rakyat itu sendiri. Jadi bisa dibilang upaya pembangunan citra positif DPR terletak di atas pundak banyak pihak.

Keunikan DPR juga terlihat dari pemisahan antara Bagian Humas dengan Bagian Pemberitaan dan Penerbitan yang dulunya sempat menjadi satu. Jika di Departemen segala urusan yang terkait dengan pers itu ditangani oleh Bagian Humas, maka di DPR ditangani oleh Bagian Pemberitaan dan Penerbitan. Sementara Bagian Humas khusus berhubungan dengan delegasi masyarakat yang memang sering mendatangi rumah rakyat ini.

Bila Bagian Humas dapat berupaya meningkatkan citra positif dengan memberikan pelayanan prima untuk setiap delegasi masyarakat yang datang ke DPR, maka Bagian Pemberitaan dan Penerbitan dapat meningkatkan upaya peningkatan citra yang positif tentang DPR melalui pemberitaan yang positif terkait dengan kinerja DPR.

Namun, yang amat disayangkan pemberitaan yang positif yang dapat membangun citra DPR di mata masyarakat cenderung kurang. Sehingga dalam rekomendasinya dalam Sidang Tahunan Tahun 2001, MPR RI pernah meminta agar perlu ditingkatkan sosialisasi kegiatan-kegiatan dan hasil kerja Dewan kepada masyarakat.

PELAKSANAAN PR DI DPR RI

Public Relation pada dasarnya merupakan sebuah bagian dalam organisasi yang berfungsi sebagai buffer atau peredam dalam organisasi. Fungsi buffer atau peredam tersebut dilakukan antara lain berkaitan dengan fungsi PR yang bertugas memberikan informasi sedemikian rupa sehingga publik internal maupun eksternal berda dalam kondisi well informed atau memiliki pengetahuan yang memadai tentang organisasi tersebut.

Karena itu PR di sebuah organisasi harus mampu menembus segala lini baik vertikal (atas dan bawah) maupun ke arah lingkungan luar organisasi dengan menjadikan mereka sebagai sumber informasi sekaligus pengguna informasi.

Selain itu PR memiliku tugas utama yaitu membentuk citra positif organisasi dimana dia berada.

Terkait dengan pembentukan citra positif tersebut, Bagian Pemberitaan memiliki peran yang sangat penting karena berdasarkan Surat Keputusan (SK) Sekretariat Jenderal DPR RI Nomor : 175/SEKJEN/1994 yang kemudian diperbaharui dengan SK Sekretariat Jenderal DPR RI Nomor : 400/SEKJEN/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal DPR RI, Bagian Pemberitaan Pasal 205, Bagian Pemberitaan mempunyai tugas melaksanakan urusan pemberitaan dan penerbitan.

Karena itu seiring dengan upaya pembentukan citra positif tentang Dewan, diharapkan Bagian Pemberitaan lebih meningkatkan sosialisasi kegiatan dan hasil-hasil Dewan melalui pemberitaan di media massa maupun media internal yaitu bulletin dan majalah Parlementaria serta home page DPR RI.

Kondisi tersebut belum lagi ditambah adanya wacana yang mengharapkan adanya kemunculan televisi parlemen yang tengah digodok usulannya di pucuk pimpinan Sekretariat Jenderal DPR RI. Seiring dengan munculnya wacana tersebut kemampuan pimpinan maupun staf terhadap jurnalisme melalui media elektronik diharapkan juga mencukupi.

Setidaknya ada tiga elemen atau stake holder penting yang harus diperhatikan dalam rangka membangun citra postif Dewan oleh PR (Bagik itu Humas maupun Pemberitaan) yaitu :

  1. Pimpinan dan Anggota DPR RI
  2. PERS
  3. Masyarakat.

Mengingat luasnya jangkauan serta cakupan kerja PR DPR RI yang melibatkan beberapa bagian sekaligus, para pimpinan Bagian terkait harus terlebih dulu merumuskan strategi kebijakan Pelaksanaan PR untuk DPR RI sehingga target dan capai yang ingin diwujudkan dapat terinventarisir dengan baik. Selain itu strategi kebijakan tersebut dapat dijadikan suatu “buku putih” yang dapat dijadikan panduan para pimpinan dan staf lain yang terlibat dalam melaksanakan fungsi ke-PR-an kepada DPR RI.

Bagaimana menghadapi realitas sosial yang memang menunjukkan kondisi tidak konfirmnya DPR RI, Bagaimana Bagian Humas dan Pemberitaan harus menyikapi kondisi tersebut, langkah-langkah strategis apa yang seharusnya dilakukan, semuanya harus termuat dalam buku putih tersebut termasuk terobosan-terobosan yang bersifat strategis.

Strategi komunikasi yang tepat harus menjadi pedoman PR dalam melaksanakan fungsi ke-PR-annya. Misalnya :

Bagian Humas DPR RI :

  1. Harus memiliki kemampuan melihat kondisi psikologis masyarakat yang datang ke DPR RI baik berupa delegasi maupun pengaduan masyarakat.
  2. Setelah mengetahui kondisi psikologis masyarakat yang dihadapi, Humas DPR RI dapat merencanakan pengunaan strategi komunikasi yang tepat untuk menyampaikan pesan-pesan tentang kedewanan secara lebih efektif. Misalnya, jika yang dihadapi delegasi dari TK sampai SMA tentu akan berbeda dengan strategi komunikasi yang digunakan untuk menghadapi delegasi mahasiswa. Sebuah keluah dan komentar negatif pernah saya dengar dari sebuah rombongan mahasiswa. Menereka berpendapat cara “top-down” yang digunakan Humas DPR RI masih bergaya aristorat membuat mereka tidak merasa nyaman. Demikian juga sikap Humas yang menurut mereka cenderung “bertendensi arogan”. Kejadian-kejadian seperti ini tentunya harus mampu dihindari. Bila perlu untuk dapat mengefektifkan komunikasi antara DPR RI dengan delegasi, narasumber yang menjelaskan tidak cukup hanya oleh Kabag atau Kasubag Humas, melainkan pejabat Setjen lain yang memiliki otoritas dan kredibilitas lebih sebagai narasumber. Bahkan bila perlu melibatkan Pimpinan atau Anggota DPR RI
  3. Karena itu agar dapat melaksanakan tugas dengan baik, baik Pimpinan maupun Staf Humas harus dibekali dengan kemampuan berkomunikasi dan wawasan yang luas tentang Kedewanan.

Bagian Pemberitaan DPR RI :

  1. Harus memiliki pengetahuan dan kemampuan yang bagus tentang kedewanan, cara-cara membuat jaringan yang melibatkan pers dan kemampuan berkomunikasi efektif dengan Pimpinan atau Anggota Dewan dimana dia ditugaskan.
  2. Harus memiliki kemampuan “How to manage issue” dan “How to making News by frame” dan “How to generate meaning”. Pola pemikiran tradisional tentang tugas pemberitaan yang hanya bertugas menulis berita di media internal harus dirubah. Pemberitaan harus mampu membuat DPR RI dapat lebih terlihat di media massa secara positif. Bagaimana caranya ? ya dengan memanage dan membuat framing berita dari sisi Dewan dengan kemasan yang “dapat dijual” dan menunjukkan keberpihakan Dewan kepada rakyat. Seperti berita tentang pupuk beberapa waktu lalu. Pemberitaan harus mampu melihat “celah dan pangsa pasar” kapan dan momentum yang tepat untuk melansir pernyataan-pernyataan Dewan secara tepat dan sistematis.
  3. Karena itu Pemberitaan harus mampu menguasai cara-cara penulisan berita yang ilmiah dan populer seperti di media massa umum layaknya khususnya Kompas, Media Indonesi. Pemberitaan juga harus mampu membaca style dan kekhususan dari masing-masing media.
  4. Selain itu Pemberitaan juga harus menguasai masala-masalah yang terkait dengan Komisi dimana dia berada. Pemberitaan harus memiliki “Gudang Pengetahuan” yang setiap saat siap untuk diluncurkan.

STRATEGI DAN TEKNIK PELAKSANAAN PR DI DPR RI

  1. Memanfaatkan seoptimal mungkin sarana dan prasaranan yang ada. Misal Humas dengan kanal di Websitenya dan Operation Roomnya. Pemberitaan dengan kamal website dan Majalah serta Bulletin yang ada.
  2. Meningkatkan efektivitas penyampaian pesan dari masing-masing sarana dan prasarana yang ada. Web Site DPR RI harus diubah bentuk dan cara penyajiannya. Bila perlu menyatuatapkan pengelolaan WebSite dan setiap bagian di Setjen DPR RI harus mendukung upaya pengelola web agar dapat up to date. Misalnya dengan memunculkan naskah RUU terbaru yang sedang dan akan dibahas, menampilkan hasil-hasil pembahasan sebuah RUU terbaru, menampilkan sejarah tentang DPR RI secara lengkap dan komprehensif dari awal hingga DPR RI saat ini, dan membuka ruang pembaca untuk memungkinkan DPR RI mengetahui masalah yang sedang terjadi di masyarakat sesegera mungkin.
  3. Cakupan distribusi Majalah dan bulletin diperluas.
  4. Memposisikan staf Pemberitaan yang bertugas di Komisi sebagai PR Komisi yang terkait demikian juga dengan staf Pemberitaan yang bertugas dipimpinan.
  5. Memetakan isue-isue terkini secara sistematis
  6. Memetakan stake holder terkait khususnya pers yang ada serta kemungkinan “celah-celah” untuk dapat dijadikan sasaran sosialisasi kinerja DPR RI.
  7. Memetakan anggaran yang dibutuhkan untuk tiap ruang sosialisasi di berbagai media massa untuk selanjutnya dijadikan dasar penyusunan anggaran Pemberitaan dan Humas.
  8. Menjalin komunikasi yang efektif dengan stake holder yang ada baik itu pers (membentuk pers komunitas, misalnya pers yang bergerak di bidang pertanian tentu berbeda dengan pertambangan) demikian juga dengan Pimpinan dan anggota Komisi dimana bertugas.

Urgensi Pembatasan Kampanye

Maraknya iklan personifikasi beberapa sosok pada sejumlah media televisi dan cetak tampaknya sudah mulai membuat gerah para elit politik. Kecemasan akan keperkasaan media massa turut mewarnai perdebatan dalam pembahasan RUU Pemilihan Presiden. Tak dipungkiri, pers dan kekuasaan selalu bersinggungan erat. Netralitas media massa juga kerap mengalami bias kala bersentuhan dengan pemilik modal. Namun apakah itu dapat dijadikan alasan bagi legislatif untuk membelenggu pers dengan alasan mengatur netralitas media dalam kampanye pemilu ?

Sebagai sebuah industri yang padat modal, media massa memandang pemilu, pilpres dan pilkada merupakan ladang iklan baru yang sangat menjanjikan. Persaingan dalam industri media massa yang demikian ketat, membuat industri media massa amat tergantung pada dominasi sejumlah kelompok pemilik modal dalam menentukan kebijakan pemberitaan serta proses produksi siaran lainnya. Kondisi itu jelas terungkap pada sejumlah penelitian, seperti yang dilakukan Ishadi SK terhadap tiga stasiun televisi yang berhasil mengungkapkan terjadinya praktek-praktek diskursus di ruang pemberitaan RCTI, SCTV dan Indosiar menjelang berakhirnya pemerintahan Suharto bulan Mei 1998.

Sejumlah studi lain juga mengungkapkan kenyataan bahwa regulasi industri media massa sepenuhnya tergantung pada “the invisible hand” (tangan tak terlihat) membuat mekanisme pasar dalam industri media massa tidak selalu identik dengan kebebasan pers atau kebebasan publik untuk mengemukakan pendapat untuk memperoleh akses ke media atau memperoleh keragaman opini, versi dan perspektif pemberitaan. Tekanan pasar dalam industri media massa ternyata tidak hanya berupa pemenuhan selera publik tetapi juga kepentingan pemasang iklan serta kepentingan-kepentingan pemilik modal yang secara sistematis berpotensi mempengaruhi kualitas kebebasan pers di tanah air (Hidayat, 2000 : 452).

Di lain sisi, studi-studi tentang media massa seperti konsep teori peluru (bullet theory) atau model jarum hipodermik yang menganalogikan pesan pesan-pesan komunikasi seperti obat yang disuntikkan lewat jarum di bawah kulit – bahwa pesan-pesan yang disampaikan media massa mempunyai pengaruh yang sangat signifikan bagi khalayaknya menunjukkan betapa perkasanya media massa. Studi lain yang diungkapkan Klapper ( 1960) dalam J.Severlin dan W Tankard (1979) dalam bukunya yang berjudul "The Effect of Mass Communication" juga mengungkapkan keperkasaan media massa, dan khalayak dianggap pasif dan tidak berdaya. Kondisi itu yang membuat media massa dijadikan saluran utama untuk menyalurkan pesan-pesan politik guna mempengaruhi opini publik seperti yang diungkapkan Paul Johnson dalam "The Media Truth: Is There a moral duty" (1998). Studi lain tentang Ketergantungan Masyarakat Kota Medan Terhadap Berita Kampanye calon Presiden di Surat Kabar dan Televisi oleh Syafarudin (2004) menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki ketergantungan yang besar terhadap pemberitaan di surat kabar dan televisi dalam menentukan pilihannya dalam pemilu presiden, padahal semakin besar ketergantungan khalayak, maka akan semakin besar pula efek media massa yang dimunculkan baik dalam tataran afektif, kognitif maupun behavioural.

Kenyataan akan keperkasaan media itu membuat usulan sejumlah fraksi di DPR seperti Partai Amanat Nasional (PAN) meminta agar Undang-Undang Pemilihan Presiden 2009 (UU Pilpres) membatasi iklan kampanye dapat dipahami. Bahkan dalam Daftar Inventarisasi Masalah pada Pasal 56, Fraksi PAN mengusulkan tambahan ayat yang mengatur pembatasan iklan itu secara detail yaitu batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di televisi untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 30 (tiga puluh) detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari selama masa kampanye, kedua batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di radio untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 60 (enam puluh) detik untuk setiap stasiun radio setiap hari selama masa kampanye untuk semua jenis iklan. Alasannya, menurut Anggota Pansus RUU Pilpres, Andi Yuliani Paris hal itu dimaksudkan agar potensi kemenangan tidak hanya berada pada calon yang punya dana besar. Sehingga diharapkan pilpres nantinya akan berlangsung lebih fair dan agar capres/cawapres yang terpilih pada pilpres mendatang benar-benar memiliki visi dan misi yang baik, bukan sekedar karena menang membentuk opini di publik melalui 'bom' iklan di media cetak dan elektronik.

Namun keberatan sejumlah kalangan terhadap pembatasan kampanye tersebut dan meminta agar pengaturan tentang netralitas media massa dalam pemilu dan pilpres dikembalikan kepada UU Pers dan UU Penyiaran serta adanya aspirasi yang menghendaki agar Undang-undang Pilpres lebih memberikan kelonggaran kepada para capres untuk mengekspresikan diri patut dicermati untuk menemukan titik kesimbangan yang paling menguntungkan bagi masyarakat agar dapat netral dalam menentukan pilihannya dan terbebas dari pengaruh siapa dan apapun termasuk pengaruh media massa. Karenanya, semua pihak diharapkan dapat menimbang secara lebih bijak berbagai alasan secara rasional dalam kerangka kebangsaan tidak sekedar memperjuangkan kepentingan bakal calon yang akan diusung partainya. Agar pada pilpres mendatang masyarakat memilih figur berdasarkan keyakinan mereka akan visi dan misi yang diusung bakal calon bukan karena terhipnotis keelokan personifikasi sosok sebagaimana kerap ditampilkan dalam iklan di media massa. Sehingga pada Pemilu 2009 mendatang presiden dan wakil presiden yang terpilih bukan karena kepiawaian Tim Media mereka dalam mengolah pesan-pesan yang mampu mempengaruhi pemikiran masyarakat melalui penayangan-penayang iklan yang begitu memikat dan jargon-jargon yang begitu menyejukan, melainkan karena mereka benar-benar merupakan presiden pilihan rakyat. Sebab realitas yang terima masyarakat tentang sosok calon presiden dan calon wakil presiden dari media massa merupakan realitas sesungguhnya bukan merupakan realitas yang dibangun oleh media massa, karena media massa “terpaksa” mengikuti aturan main yang mewajibkan mereka untuk menayangkan iklan dan memberitakan para calon secara berimbang. (Handrini Ardiyanti)