Oleh: Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi
(Konselor Muslim, Aktif di Kajian Zionisme Internacional)
Tampaknya tidak hanya Jakarta yang akhir-akhir ini ketiban suhu panas 38
derajat celcius. Namun baru-baru ini rakyat Sidoarjo yang sebelumnya
bermandi Lumpur pun ikut-ikutan memanas. Apa karena hawa panas Lumpur
yang kembali memancur? Ternyata bukan, pasalnya ada di Maria Eva
Lho hanya untuk seorang perempuan? Ya apalagi.
Seperti diberitakan Vivanews.com, setelah Ayu Azhari dan Julia Perez,
penyanyi dangdut, Maria Eva juga akan mencoba peruntungannya di dunia
politik. Maria Eva pun membenarkan dirinya siap maju dalam pilkada. Dia
mengaku sudah dilamar partai politik. Salah satunya adalah partai
berlambang banteng gemuk dengan background merah.
Karir politik Maria Eva memang bukan seumur jagung. Ia berbeda dengan
Julia Perez atau Inul Daratista. Maria memang sedikit lebih “terdidik”
dengan tampilan gelar master di ekor namanya. Karir politiknya pun
tidak disulap cepat seperti ayu Azahari. Setidaknya Maria sudah pernah
ikut dalam pusara pemilihan legislatif pada basis konstituennya di
Malang medio 2004 silam. Sayangnya, urutan nomor sepatu belum
mengizinkannya melenggang ke Senayan.
Peraturan Mendagri
Isu naiknya Maria Eva sontak menimbulkan pro kontra. Artis yang familiar
dengan goyangan dangdut vulgar itu, digadang-gadang akan merusak basis
akhlak dan moral masyarakat. Terlebih Jawa Timur dan Sidoarjo adalah
sendimentasi basis santri yang lekat pada dinamika kultural kedaerahan.
Menurut khalayak, Maria tidak hanya dinilai cacat moral, namun stigma
seksis akan terus melekat padanya. Ini bukan dogma atau sekedar stigma
sepihak, namun setidaknya lakon artis panas memang masih kerap diumbar
olehnya saat pesta-pesta musik dangdut yang sering dibawakan dengan
tampilan panas. Jadi alangkah wajar apabila rakyat Sidoarjo, terlebih
Indonesia amat geram melihat Maria Eva sendiri yang belum ada niatan
pensiun dari wilayah remang-remang itu.
Menangkap gelagat tidak baik ini dan berpihak pada kegelisahan
masyarakat atas pelbagai kasus seksis pada kontestasi Politik Daerah,
Mendagri Gamawan Fauzi kemudian mengusulkan penambahan syarat tidak
cacat moral pada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Tidak hanya itu, selain usulan tidak cacat moral, Gamawan juga
mengajukan usulan perbaikan kualitas calon kepala daerah dengan mengacu
keharusan memiliki pengalaman di partai politik atau paling tidak
organisasi kemasyarakatan.
Ternyata kedua usulan yang diajukan Gamawan bukan tanpa sebab. Seperti
dikutip Kompas 23 April 2010 lalu, pada kenyataannya Gamawan
berpandangan bahwa pemerintah perlu melakukan "intervensi" karena rakyat
Indonesia dipandang belum cukup matang dalam memilih pemimpinnya.
Tentu saja bergulirnya niat tulus revisi itu menimbulkan kegeraman bagi
Maria dan artis-artis lakon panas lainnya. Artis bergelar Master bidang
Marketing itu lantas menilai bahwa Usulan Pak Menteri itu terlalu naïf,
mengada-ngada, dan sarat muatan politis.
Lalu Maria Eva dengan gaya khas Postmo-nya justru berbalik mendebat
Gamawan untuk memperjelas definisi zina. Apakah yang dimaksud Gamawan
adalah zina mata? Zina badan? Kalau seperti itu Eva berani menjamin
semua orang pun pernah berzina. Termasuk Gamawan Fauzi sendiri mungkin.
Ya tutur kata Maria begitu khas posmo. Mencari kebenaran pada susunan
tiang-tiang huruf yang coba dirubuhkan pada arti dan definisi.
Posmodernisme Kebenaran
Posmodernisme sebenarnya adalah nama gerakan di kebudayaan kapitalis
lanjutan. Istilah Posmodernisme sendiri muncul pertama kali di kalangan
seniman dan kritikus di New York tepatnya pada tahun 1960 dan diambil
alih oleh para teoritikus Eropa pada tahun 1970-an. Tokoh yang sering
diasosiasikan dengan Posmodernisme antara lain Derrida, Lyotard, dan
Baudrillard, yang kesemuanya bernaung atas payung filsafat.
Mengubah realitas menurut Derrida juga berarti mengubah teks, dan teks
itu sendiri adalah realitas kehidupan manusia. Untuk mengubah realitas
orang perlu terlebih dahulu mampu memahami dan menggambarkan realitas.
Ada keterkaitan yang mendalam antara menggambarkan (to describe) dan
mengubah (to transform).
Secara garis besar, yang menjadi konsen dari posmodernisme adalah
membicarakan ulang kembali arti kemapanan. Memperhitungkan kembali
kebenaran hakiki. Dalam konstruk Posmo satu tambah satu belum tentu dua.
Bisa tiga, bisa empat, atau bisa juga dua. Namun dua dalam versi yang
lain.
Hal-hal semacam itu kita kenal dengan istilah Dekonstruksi. Alih-alih
dekontruksi ingin melakukan reformasi, anak kandung posmo ini malah
semakin membingungkan. Ia mencoba merusak makna sesuatu yang sebenarnya
sudah clear. Jika ayam berkokok, bagi orang posmo, dia akan berakata,
“Ayam yang mana dulu?”. Ayam Kentucky kenapa tidak berkokok, tapi malah
disiram saus. Cantik memang, tapi hancur. Manis memang tapi sinis.
Dekonstruksi mencoba mengajak anda menari untuk secara bertahap
melupakan kebenaran tunggal.
Derrida, misalnya, ia melakukan dekonstruksi tidak hanya bergerak di
tataran filsafat, melainkan juga menyentuh literatur, politik, seni,
arsitektur, dan bahkan ilmu-ilmu alam. Seperti pada umumnya,
dekonstruksi Derrida menggambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah
dan membelah kepastian dan pakem-pakem lama yang tidak lagi
dipertanyakan. Di dalam tulisan-tulisannya, Derrida berulang kali
menuliskan bahwa kekuatan untuk mengubah dan membelah itu sebenarnya
sudah terkandung di dalam teks itu sendiri. Yang ia lakukan hanyalah
mengaktifkan kekuatan itu, dan kemudian menyebarkannya ke keseluruhan
teks. Derrida mau melakukan de-sedimentasi terhadap teks, dan membuka
kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam
arti ini ia mau menciptakan gempa di dalam teks.
Hasilnya banyak konteks Dekonstruksi ini coba dicarikan ruangnya dalam
dimensi keislaman. Salah satu hasilnya adalah lahirnya buku Dekonstruksi
Islam Mazhab Ciputat. Dan diantara penulis-penulisnya tersimpul
nama-nama “beken” seperti Almarhum Nurcholish Madjid yang dibuku itu
menulis tentang “Menyemarakkan dialog agama”. Lalu ada Kautsar
Azhari-Noer yang berkisah dengan judul terang “Melampaui nama-nama Islam
dan postmodernisme”. Ada pula Komaruddin Hidayat yang hasil tulisannya
bertajuk “Dari tahapan moral ke periode sejarah pemikiran neo-modernisme
Islam di Indonesia”. Tentu itu hanya sedikit nama.
Hasilnya apa? Salah satu bentuk dekonstruksi itu dengan sembrono
dilakukan Nurcholish Madjid yang mengubah konsep dasar makna Islam
menjadi sekedar “sikap pasrah”. Islam mengalami reduksi dari artian
sebagai konsep, sistem kehidupan, menjadi hanya sebuah sikap menyerahkan
diri. Jadi apapun agamanya, jika ia menyerahkan diri kepada Tuhan,
sudah termasuk bagian dari amar ma’ruf, bahkan jihad. Kendati orang itu
masih suka berselingkuh dengan Tuhan-tuhan yang lain.
Posmodernisme Demokrasi.
Jika Kita coba kembali ke Maria Eva akan kita temukan sesuatu yang unik.
Dimana perseteruan Eva-Gamawan lantas dengan sigap diberi ruang oleh
media. Televisi-televisi pun berusaha mengundang Eva dalam suasana yang
lebih santai dan terbuka. Salah satunya di program Mata Najwa Metro TV.
Setelah mengundang Musdah Mulia pekan lalu, acara yang dipandu Host
Najwa Shihab itu kini menghadirkan banyak pembicara. Setidaknya Julia
Perez, Maria Eva sendiri, Gamawan Fauzi, dan Syaiful Mujani melakukan
wawancara silih berganti.
Pada sesi wawancara untuknya, Maria terang-terangan mempertanyakan
perihal keabsahan makna moralitas itu sendiri. Maria berkata setengah
bingung dan skeptik tentang bagaimana ukuran sebenarnya dari standar
moralitas. Apa tapal batas dari kriteria moralitas? Dimana ujungnya?
Sekilas, Maria Eva bertanya lebih sebagai Albert Camus berkisah tentang
Tuhan yang tiada ujung dan pasti tidak memuaskan.
Hingga tiba di penghujung acara, Najwa Shihab akhirnya menyimpulkan
bahwa ia menyadari kegelisahan masyarakat tapi tidak juga menutup mata
atas hegemoni artis panas pada persaingan politik. Akhirnya, dengan nada
pasti Najwa mencoba mengambil jalan tengah dengan mengatakan bahwa
pilihan itu akan berpulang kepada diri kita sendiri. Kalau tidak setuju
dengan para artis panas ini, ya jangan dipilih. Tapi kita pun juga
tidak boleh membatasi hak politik mereka, begitu kira-kira asumsi putri
kandung Prof Quraish Shihab tersebut.
Kita yang tidak setuju memang boleh geram, namun khususnya saya
menyadari bahwa beginilah pahitnya hidup pada negara dengan asas di mana
standar kebenaran ada di tangan rakyat, bukan Allah. Atau mungkin asas
demokrasi bangsa kita sekarang bergeser menjadi tema demokrasi tubuh,
demokrasi posmo, atau mungkin demokrasi “tergantung pilihan anda”.
Dalam analisa lebih jauh, kebenaran dalam sistem posmo ini pun bisa
dikompromikan. Sebagai contoh, jika ada kebenaran yang merugikan rakyat,
maka pihak yang dirugikan bisa mengajukan gugatan ke Mahkamah
Konstitusi untuk membatalkan peraturan tersebut. Kasus ini terjadi saat
Jaringan Islam Liberal meminta pencabutan UU Penodaan Agama yang
baru-baru heboh dikalangan umat Islam. Padahal jika kita menilik dalam
kerangka Islam, yang haqq pasti tidak akan bisa dikompromikan, apalagi
dijual. Terlebih-lebih dengan harga murah.
Oleh karena itu, kita harus mampu melihat secara jernih bahwa
relativisme kini pada dasarnya tidak hanya lahir pada bahasan Pluralisme
agama. Namun ia masuk ke tema-tema yang terbilang sederhana. Seperti
sebuah motto yang terselip pada koran Jakarta "Kebenaran tidak pernah
memihak"
Kalau kita memperhatikan dengan seksama, bahasa Najwa Shihab pun sekilas
akan terlihat cantik "Tidak perlu membatasi politik mereka (Baca: Jupe
or Maria Eva)" Jadi seakan kita adalah orang yang tidak bijak dalam
kasus ini. Dalam tradisi Posmo sebisa mungkin kebenaran teologis memang
harus mengalami redusir. Jangankan itu, kebenaran akan timbul dalam
varian. Versi-versi yang antara satu dan yang lainnya saling
bertentangan.
Bahkan jangan kaget jika kemudian hari kita pun akan digiring untuk
berbenturan pada opini-opini "Jadi yang milih Jupe tidak bermoral dong?”
Tauhid vis a vis Posmodernisme dan Moralisme.
Kita memang perlu mengapresiasi itikad baik yang dikeluarkan Menteri
Gamawan Fauzi. Bagaimanapun beliau punya rasa simpatik terhadap
keselamatan moral bangsa. Namun karena kita menyandarkan moralitas pada
standar-standar nilai kemanusiaan. Kita pun akan khawatir kasus Maria
Eva hanya akan tertutup sejenak dan akan kembali muncul tapi dalam rupa
berbeda. Ia seakan lenyap dari peredaran tapi hakikat dan ruhnya tetap
tidak tersentuh. Bukankah ini serupa dengan adagium menutup satu lobang,
lalu tersingkaplah lubang yang lain?
Sebenarnya, kasus relativitas moral hanya dapat luluh dengan sentuhan
tauhid sebagai pilar asasinya. Islam tidak hanya mengajarkan hambanya
untuk kemudian stabil dalam segi moral, namun labil pada akhlak yang
lain. Islam pun selalu mengaitkan standar kebaikan yang langsung on line
kepada ketetapan Allahuta’ala. Hamba dalam sistem tauhid hanya mau
diatur kepada ketentuan Allah yang pasti adil dan mengerti kebutuhan
hambanya.
Selanjutnya, berbeda dengan moralisme pada standar kemanusiaan dan
postmodernisme, Islam mempunyai batas moralisme yang jelas, tidak sumir
apalagi memberi ruang untuk ditafsirkan sendiri-sendiri. Islam sudah
sempurna dan tidak butuh standar kebenaran kompromistis.
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu." (Q.s. Al-Maidah:3)
Di ayat lain Allah juga mengatakan secara tegas.
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu. (An-Nahl: 89)
Kita pun dapat memetik pelajaran pada catatan sirah nabawiyah bagaimana
Rasulullah lebih mendahulukan panji tauhid ketimbang acuan moralisme.
Oleh karenanya, Asy Syahid Sayyid Quthb dalam kitab Ma’alim
Fiath-thariqnya, seperti pernah dibahas pula oleh Ustadz Ihsan Tanjung,
dengan cantik menjelaskan perihal mengapa Allah mengharuskan Nabi
Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengibarkan bendera La ilaha
ill-Allah bukan bendera lainnya. Bendera tauhid dan bukan bendera
moralisme, padahal dengan mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah bangsa
Arab bukan saja enggan menerima seruan tersebut, tetapi bahkan
menentang dengan keras sampai ke tingkat mengusir dan memerangi Nabi
shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat.
Sayyid Quthb menceritakan bahwa pada waktu Rasulullah s.a.w. diutus,
tingkat kesusilaan di Semenanjung Arab berada dalam titik yang amat
rendah dalam banyak seginya, di samping hal-hal yang mulia yang asli
baduwi (di perkampungan dan bukan di kota, pent) yang masih ada dalam
masyarakat. Ketidakadilan merajalela dalam masyarakat, tergambar dalam
kata-kata penyair Zuhair bin Abi Salma :
"Siapa yang tidak mempertahankan kolam airnya dengan senjatanya akan
diruntuhkan dan siapa yang tidak menganiaya manusia akan dianiaya."
Hal itu digambarkan juga oleh perkataan yang terkenal di zaman
jahiliyah: "Tolonglah saudaramu baik ia menganiaya atau dianiaya."
Minuman yang memabukkan dan perjudian telah menjadi tradisi masyarakat
yang tersebar luas. Dan menjadi suatu hal yang dibangga-banggakan.
Pelacuran dengan segala bentuknya telah menjadi tanda dari masyarakat
ini, sebagaimana keadaannya dalam setiap masyarakat jahiliyah, baik yang
kuno maupun yang modern. Barangkali ada yang mengatakan : Sesungguhnya
adalah dalam kekuasaan Muhammad s.a.w. untuk mengumumkan suatu da'wah
reformasi yang menyangkut dengan perbaikan budi pekerti, pembersihan
masyarakat dan penyucian diri. Barangkali ada yang mengatakan :
Sesungguhnya Muhammad shollollahu alaihi wa sallam pada waktu itu dapat
menjumpai jiwa-jiwa yang baik yang merasa sakit melihat kekotoran ini,
sebagaimana dijumpai oleh setiap reformis susila di setiap lingkungan.
Jiwa-jiwa ini dipengaruhi oleh keluhuran dan keinginan untuk
memperkenankan seruan reformasi dan pembersihan. Barangkali ada orang
yang berkata : Seandainya hal itu diperbuat oleh Rasulullah s.a.w.
semenjak dari pertama kali tentulah ia akan diperkenankan oleh sejumlah
orang yang baik, yang bersih budi pekertinya, yang suci jiwa mereka,
sehingga mereka itu lebih dekat untuk menerima dan memikul aqidah, dan
tidak perlu lagi mengobarkan seruan La ilaha illa-llah yang menimbulkan
oposisi yang kuat semenjak permulaan jalan.
Karena itu amat wajar jika istri nabi, Aisyah sampai-sampai harus mengatakan:
“Andaikan awal yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah jangan minum khamr,
niscaya mereka berkata “Demi Allah kami takkan meninggalkan khamr”.
Andaikan awal yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah jangan berzina,
niscaya mereka berkata “Demi Allah kami takkan meninggalkan zina”. Akan
tetapi awal yang diturunkan ialah surah-2 detail mengenai surga dan
neraka, sehingga hati menjadi teguh mengingat Allah. Barulah kemudian
(lambat-laun) diturunkan (daftar perkara) halal dan haram.”
Sayyid Quthb-pun mempertegas itu pula dalam kitab Fiqhud da’wah-nya
bahwa ketertundukan kepada Allah membebaskan manusia dari ketertundukan
kepada yang lainnya dan menyelamatkannya dari menyembah sesama hamba
kepada menyembah kepada Allah. Kehidupan manusia akan baik, lurus,
meningkat, atau menjadi kehidupan yang layak dengan manusia kecuali
dengan tauhid.
Di situ jelas, bahwa hamba Allah sudah memiliki kebenaran moral versi
tersendiri yang pasti kokoh, karena ia turun langsung dari Sang
penciptaNya. Yang mengerti betul siapa hambaNya dan Bagaimana cara
mengaturnya.
Kita sebagai umat Islam akhirnya harus jeli melihat banyaknya permainan
kata-kata yang dilontarkan kaum postmo yang pada hakikatnya adalah
menipu. Permainan yang mudah sekali ditebak dan sudah jelas tujuannya
karena selalu berkutat pada problem mengincar tahta-tahta duniawi.
Semoga kita selalu dilindungi oleh Allah dari tipu daya dunia fana ini. Allahua’lam